Saturday 6 June 2009

Tanya Bintang Pada Bulan

Bergelut seharian melawan teriknya mentari untuk mencari kepingan uang demi menyambung hidupnya. Bintang yang kesehariannya akrab dengan polusi kota tak pernah mengeluh dengan keadaannya, dia terus berjuang untuk bertahan hidup, apalagi semenjak ayahnya meninggal ibunya jatuh sakit, dan kini untuk sekedar makan satu hari Bintang harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan jalanan.
Dulu ketika ayahnya masih hidup dan ibunya masih sehat, Bintang masih dapat pergi sekolah dengan kawan-kawannya, namun kini ketika kawan-kawannya pergi untuk menuntut ilmu, bintang harus pergi kejalan naik bus ke bus, dari kendaraan satu ke kendaraan lain, menggadaikan masa kecilnya untuk sekeping uang.
Walaupun begitu keadaan Bintang, dia tak pernah mengeluh sedetikpun, dia menghadapi kehidupannya dengan senyum, mungkin itu jugalah yang membuat ibunya bertahan menahan kesakitan yang kini dia derita. Sore ini Bintang pulang ke rumah membawa bungkusan, ketika dia datang di tatapnya wajah ibunya yang tidur terlelap, tak ingin kedatangannya mengganggu istirahat ibunya, bocah berusia 10 tahun ini berjalan hati-hati di gubuk reyotnya yang dia anggap adalah istana Bintang.
“Kenapa kamu jalan seperti itu nak?”, ibunya terbangun dan bertanya dengan suara lirih tapi lembut penuh kasih sayang.
“Maaf bu, Bintang takut ganggu istirahat ibu, oh iya bu, Bintang bawa makanan buat ibu, ibu pasti belum makan.” Bintang berjalan kembali menghampiri ibunya yang berbaring di kursi dekat pintu rumah, dan memberikan bungkusan makanan pada ibunya.
“Terimakasih nak!, eh… mau kemana kamu?.”
“Aku mau ambil piring dulu bu.”
“Kalo begitu cepatlah, kamu pasti juga belum makan.”
“Iya bu!”
Kepergian ayahnya membuat ibunya Bintang terpukul dan mungkin karena itu juga kini ibunya terbaring sakit. Sejak kepergian ayahnya ibu tidak pernah tidur di kamar, katanya jika dia berada di kamar dia selalu ingat pada suaminya itu. Bintang sudah sering kali menyuruh ibunya tidur di kamarnya jika dia tidak mau tidur di kamarnya, tapi ibunya lebih suka tidur di kursi, agar jika Bintang datang dan perginya Bintang di ketahuinya.
***
Pagi ini ketika adzan shubuh berkumandang di masjid, ibu memanggil Bintang untuk membantu ibunya berwudlu, seperti inilah setiap paginya, sehingga Bintang terbiasa untuk ikut berwudlu dan shalat. Walaupun ibu dalam keadaan sakit tapi dia masih menanamkan pendidikan kepada Bintang melalui kebiasaan.
Dalam terbaring ibu ucapkan takbir, menjadi makmum dari anaknya Bintang. Setelah selesai menunaikan shalat shubuh Bintang ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuk ibunya, dan membersekan rumahnya. Walaupun usianya masih 10 tahun tapi dia menjalani kehidupan dengan kedewasaan bersikap dan berpikir.
Setelah pekerjaan rumahnya selesai, Bintang berpamitan pada ibunya untuk pergi ngamen.
“Ibu, Bintang pergi dulu. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikum salam, hati-hati nak!”
Selepas Bintang pergi, ibunya mengucurkan air mata kesedihan, dalam kondisi seperti itu, dia tidak bisa membahagiakan Bintang anaknya, dia merasa tidak berguna hanya terbaring. Setiap hari merasa was-was, penuh ketakutan dan kekhawatiran terhadap anaknya.
Di tempat lain Bintang bernyanyi dengan segala keterbatasannya, dengan segala resiko Bintang melawan bahaya dan perihnya kehidupan di jalan. Dengan bercururan keringat di bawah teriknya matahari dia bernyanyi penuh semangat.
Setelah seharian berkeliling kota rasa lelah hinggap pada Bintang, di dengarnya suara adzan berkumandang yang tak jauh dari pasar, tanpa basa-basi dia bergegas pergi kemasjid untuk menunaikan shalat dzuhur. Setelah tak lebih dari 10 menit berada di dalam masjid untuk shalat, Bintang kembali kepasar, ketika hendak memakai sandalnya seorang bapak berdiri di depan pintu mensij dan memanggilnya.
“Hey nak! tunggu sebentar.”
“Iya pak ada apa?”
“Setelah ini hendak kemana kamu pergi.”
“Ke pasar lagi pak.”
“Apakah kamu pengamen?”
“Betul.”
“Orang tuamu dimana? apakah mereka bekerja? bekerja apa orang tuamu?”
Ketika Bintang mendengar pertanyaan-pertanyaan itu kepalanya menunduk dan terdiam, sesaat itu juga Bapak yang berada di belakangnya mendekatinya kemudian duduk di teras manjid di samping Bintang dan mengusap kepala Bintang.
“Kenapa kamu diam nak?”
“Gak apa-apa kok pak.” Kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum.
“Bapak kagum sama kamu, bapak tahu sebenarnya kamu menjadi sedih atas pertanyaanku tadi, tapi kamu tersenyum menyembunyikan kesedihanmu. Sebenarnya dimana orang tuamu?”
“Sebenarnya ayah saya sudah meninggal setahun yang lalu.”
“Lalu ibumu?”
“Ibu terbaring sakit di rumah, dia tak dapat pergi kemana-mana, kondisi badannya sangat lemah.”
“Kamu bawa ibumu ke dokter?”
“Uangnya belum cukup.”
Tiba-tiba saja bapak yang baru dia kenal itu mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetnya.
“Nak, ini ada uang sekedarnya untuk kamu dan ibumu, hari ini cukup sampai dzuhur saja kamu ngamen, sekarang pulanglah dan belikan ibumu makanan.”
“Tapi pak!”
“Sudahlah, kamu masih terlalu kecil untuk hidup seperti ini.”
“Terima kasih banyak pak, semoga Allah membalas segala kebaikan bapak.”
Setelah berterima kasih dan mencium tangan bapak yang baru dikenalnya dia pulang ke rumah dengan membawa uang seratus ribu di tangannya, tak lupa diapun membeli makan siang untuk ibunya.
***
Hari berganti, pagi menyapa mentari bersinar, Bintang seperti biasa pergi berangkat ke pasar untuk mencari uang bak artis papan atas bernyanyi dari pentas-pentas. Dengan hanya berbekal guitar kecil dan kantong plastik bekas permen dia langkahkan kakinya.
Tak seperti hari-hari biasanya, hari ini Bintang terus teringat pada ibunya, dalam lamunannya terbersit uang yang dikumpulkannya masih belum cukup untuk membawa ibunya berobat. Ketika hendak masuk pada sebuah bus, tak disengaja Bintang bertemu dengan bapak yang kemarin dia temui di masjid.
“Assalamualaikum…”
“wa’alaikum salam…! rupanya kamu nak! gimana keadaan ibumu sekarang?”
“Masih seperti kemarin pak.”
“Yang sabar saja kamu.”
“Iya pak, oh iya bapak hendak pergi kemana?”
“Saya mau pulang kampung, mau bertemu sama anak dan istri saya.”
“Oh jadi bapak bukan orang sini?”
“Bukan nak, saya disini hanya merantau, bekerja sebagai kuli.”
“Kalo gitu saya mau ngamen dulu ya pak?.”
“Iya…iya…! Silahkan nak.”
Mendengar senandung yang dibawakan oleh Bintang rupanya menyentuh hati para penumpang bus itu tak terkecuali seorang bapak yang dia baru kenal. Bintangpun merasa aneh dengan lagu yang dibawakannya saat itu, dia merasa sangat menjiwai lagu tersebut. Setelah beberapa lagu Bintang bawakan, kemudian di asongkannya plastik permen itu pada penumpang, dan kembali berdiri di dekat seorang bapak.
“Oh iya nak! dari kemarin bapak belum tahu nama kamu.”
“Nama saya Bintang pak, maaf nama bapak siapa?”, sambil bersalaman.
“Saya Supriatna.”
“Bapak punya anak berapa?.”
“Alhamdulillah saya sudah punya anak dua, kedua-duanya laki-laki.”
“Pasti bapak sangat sayang sama mereka.”
“Semua orang tua di dunia ini pasti sayang sama anaknya, ayah kamu juga pasti seperti itu, dia pasti bangga punya anak seperti kamu.”
“Terima kasih pak, oh iya saya pamit, saya harus turun disini, saya juga harus nunggu bus yang lewat yang akan membawa saya kembali kepasar.”
“Baik kalo begitu, kamu hati-hati ya nak?”
“Iya, Assalamualaikum!”
Tak ragu ketika bus itu berjalan perlahan dia loncat dari bus, bagi siapa saja yang melihat tindakan bocah ini pasti akan merasa was-was dan khawatir atas keselamatannya, akan tetapi bagi Bintang itulah yang harus dia lakukan untuk mengumpulkan uang bagi pengobatan ibunya.
***
Mentari mulai kembali pada persembunyaiannya, senjapun menyapa, dalam perjalanan pulang Bintang merasakan sesuatu yang tidak nyaman dengan perasaannya, dia terus teringat pada ibunya. Jalannyapun kini semakin dipercepat, dan sesampainya di depan halaman rumahnya, orang-orang berkerumun di rumahnya. Tanpa pikir panjang Bintang berlari masuk rumah. Dalam kerumunan banyak orang ibunya telah terbaring kaku dengan bungkusan kain putih di atas karpet biru di tengah rumah. Air matanya jatuh bersamaan dengan jatuh badannya. Dipeluk ibunya dan diciuminya.
“Sabar Bintang.” Pak Sanyoto mencoba menenangkan Bintang yang menagis memeluk ibunya erat-erat. Ini adalah jawaban dari perasaannya hari ini, ibunya telah tiada, dia pergi dan tak akan pernah kembali.
“Sabar nak, sudah hapus air matamu, biarkan ibumu pergi dengan tenang”
“Kenapa bapak tidak memberi tahu saya kalo ibu…”
“Bapak dan tetangga yang lain sudah coba cari kamu di pasar untuk memberi tahu kamu.”
Pak Sanyoto tetangga dekat Bintang menyuruh isterinya bu Marwati membawa Bintang ke rumahnya.
“Ayo Bintang kamu ke rumah ibu dulu, kamu mandi dulu ya?” bu Marwati merayu Bintang yang masih menatap ibunya untuk ke rumahnya.
“Aku masih mau melihat wajah ibu.”
“Tapi kamu harus mandi dulu dan makan, pemakaman ibu kamu harus di laksanakan sore ini juga sebelum maghrib.”
Akhirnya dengan bujukan bu Marwati, Bintang mau mengikuti nasehatnya. Bintang sangat terpukul atas kejadian hari ini, kini dia telah menjadi yatim piatu, ayah dan ibunya telah pergi meninggalkannya dalam usianya yang masih 10 tahun.
Setelah Bintang mandi dan di beri makan oleh bu Marwati, Bintang kembali ke rumahnya, kini Bintang mengantarkan ibunya ke pemakan setelah ibunya di solatkan. Air mata tangisannya tak kunjung henti hingga sampai di pemakaman dan di masukan ibunya ke liang lahat.
Setelah pemakaman itu usai, pak Sanyoto dan isterinya bu Marwati mengajak Bintang untuk sementara tinggal di rumahnya. Bintang yang saat itu sangat terpuruk akhirnya mau tinggal sementara di rumah pak Sanyoto.
***
Setelah beberapa hari sepeninggal ibunya, Bintang meminta izin pada pak Sanyoto dan bu Marwati untuk kembali ke rumahnya.
“Pak dan ibu, Bintang pamit sama bapak dan ibu, Bintang mau tinggal di rumah Bintang saja.”
“Jika itu mau kamu kami tidak bisa berbuat apa-apa Bintang.”
“Terima kasih bu.”
“Kalo kamu butuh apa-apa datang saja ke rumah ini, di sini ada bapak dan ibu yang siap membantu kamu.”
“Iya pak, terima kasih banyak.”
Bintang kembali ke rumahnya yang hanya berjarak 10 meter dari rumah pak Sanyoto. Ketika dia bukakan pintu rumahnya dia berdiri diam di depan pintu, dulu ketika ibunya masih hidup saat membuka pintu selalu ada ibunya yang berbaring di atas kursi, tapi kini yang dia lihat hanya bantalan kursi, meneteslah air mata Bintang ketika dia duduk di kursi yang biasa digunakan ibunya berbaring.
***
Siang tak terasa berganti malam, kesunyianpun datang, Bintang hanya duduk tertunduk di atas sajadah. Terdengar suara orang yang mengetuk pintu rumahnya, Bintangpun langsung terbangun dari lamunnya, memandang ke depan di lihatnya jam dinding menunjukkan puku 8 malam. Tak lama setelah itu Bintang berjalan keluar dari kamarnya dan membukakan pintu rumahnya.
“Pak Sanyoto? Silahkan masuk pak.”
“Nda usah, bapak cuma sebentar saja, ini nak makanan untuk makan malam kamu, ini buatan bu Marwati lho buat kamu. Kami tahu kamu pasti belum makan dari tadi.”
“Aduh terima kasih pak! Bintang jadi ngerepotin.”
“Nda apa-apa, sudah kalo gitu bapak pulang dulu, kamu habiskan ya makanannya.”
“Iya pak, sekali lagi terima kasih banyak.”
“Iya sama-sama, Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam.”
Setelah pak Sanyoto pergi, Bintang langsung memakan makanan yang diberikan pak Sanyoto tadi, akhirnya setelah selesai makan, Bintang merasa ngantuk dan tertidur.
Dalam tidurnya Bintang bermimpi tengah bermain di padang rumput yang hijau, kemudian di lihatnya bintang dan bulan bersinar di malam itu, ketika Bintang duduk di bawah pohon dia menatap bulan dan bertanya, “Wahai bulan kenapa Tuhan pisahkan aku dengan orang tuaku?”.
Setelah beberapa saat akhirnya terdengar suara dari atas langit di berkata pada Bintang.
“Itu karena Tuhan teramat sayang padamu nak!”
“Kenapa Tuhan mengungkapkan rasa sayangnya dengan cara memisahkan aku dengan orang tuaku, padahal mereka juga sayang padaku?”
“Bintang! Tuhan Mahamengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hambanya.”
“Bulan, aku masih terlalu kecil untuk hidup sendiri, siapa yang akan melindungiku nanti?”
“Selama ini yang melindungi kamu dan kedua orang tuamu adalah Tuhanmu.”
“Tapi Bulan apakah aku bisa hidup tanpa mereka?”
“Bintang! Kehidupan itu ditentukan oleh Tuhan, Dia mempunyai caranya sendiri untuk mengungkapkan rasa kasih sayang pada hambanya.”
“Apa yang kini harus aku lakukan, aku tak punya siapa-siapa lagi, saudarapun aku tak punya.”
“Bersyukurlah kepada Allah, sayangilah mereka yang menyayangimu, maka kamu akan mendapat kebahagiaan.”
“Bulan, aku ingin kau menyampaikan pesanku pada Tuhan, berikanlah kebahagiaan pada kedua orang tuaku, tempatkanlah mereka di syurgaNya, dan pertemukanlah kami kembali di syurga.”
“Berdoalah nak, maka aku akan mengamini setiap doamu.”
Terdengar suara adzan subuh membangunkan Bintang dari mimpinya, terpikirkan kembali akan apa yang telah ia temui dalam mimpinya, dia bisa berbicara dengan bulan dan menceritakan keluh kesahnya pada bulan.
Mentari menerobos dinding-dinding kaca rumahnya, pagi ini Bintang memulai persiapan untuk kembali mengamen ke pasar, namun ketika hendak keluar dari rumah, pak Sanyoto dan bu Marwati datang dan menahan kepergian Bintang ke pasar.
“Bintang!”
“Iya bu.” Jawabnya singkat.
“Ibu sama bapak datang ke sini untuk menjemput kamu.”
“Memangnya saya mau di ajak ke mana bu?”
“Kami mau kamu tinggal bersama kami.” Pak Sanyoto langsung mengungkapkan maksud kedatangannya. Bintang terdiam dan tertunduk.
“Kenapa diam, apa kamu gak suka tinggal bersama kami?”
“Bukan begitu bu, tapi…”
“Sudahlah, bapak akan membiayai sekolah kamu Bintang.”
“Kami juga akan menyayangi kamu seperti anak sendiri.”
Bintang mulai tersadar akan ungkapan sang bulan pada mimpinya, dalam kebingungannya Bintang menangis dan pak Sanyoto serta isterinya bu Marwati memeluk Bintang. Hingga akhirnya Bintang mau tinggal bersama pak Sanyoto dan bu Marwati sebagai anak angkat. Pak Sanyoto dan bu Marwati merasa senang karena Bintang mau tinggal bersama mereka, kini rumah mereka akan di warnai oleh ke hadiran anak yang selama ini mereka dambakan.

0 comments: